feedburner
Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

feedburner count

banyaknya pengunjung


View My Stats

kumpul blogger

lowongan

lowongan kerja

lowongan kerja

baca artikel dapet duit

readbud - get paid to read and rate articles

cash ptc

paid to surf

clock-pay

clockpay.net

donkey mails

DonkeyMails.com: No Minimum Payout

fine-ptc

$10 per click

income-web

dapet dollar gratis

Get cash from your website. Sign up as affiliate.

promoteburner

kondisi tenaga kerja indonesia di luar negeri




PRO kontra mengenai pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) hingga saat ini belum menunjukkan titik terang yang memuaskan kedua pihak. Pengiriman TKI di saat krisis seperti sekarang, di mana pengangguran kian meningkat, memang
dianggap solusi dalam menguranggi jumlah angka pengangguran.

Sedangkan bagi negara, pengiriman TKI diharapkan mampu menambah devisa. Tapi bagaimana dengan nasib TKI itu sendiri? Apakah dia mendapatkan perlindungan yang memadai? Mengapa masih banyak TKI yang pulang membawa luka dan derita?

Cerita duka TKI di perantauan, bukan cerita baru, terutama tenaga kerja
wanita pembantu rumah tangga (TKW PRT). Namun juga tidak sedikit kisah duka dari tenaga kerja prianya. Kasus Warni yang mendapatkan hukuman pancung di
Malaysia, 10 Juni 2000, merupakan potret lemahnya perlindungan hukum dan politis bagi buruh wanita yang bekerja di luar negeri.

Menjadi pertanyaan, bagaimana sebenarnya status TKW tersebut? Apakah hanya untuk perolehan devisa negara, yang berarti posisi TKW ibarat sapi perahan, tanpa ada perlindungan hukum maupun politik dari pemerintah secara
memadai? Atau, hanya karena malu dianggap sebagai negara yang memiliki angka pengangguran yang besar, sehingga sebagian diizinkan bekerja ke luar negeri?
Sejauh mana tanggung jawab moral dari pemerintah, pengusaha Pengiriman Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTI), yang juga sering dikeluhkan sekadar mengeruk
keuntungan dari kebingungan TKW.

Menurut Salma Safitri aktivis pembela buruh migran dari Solidaritas Perempuan, banyaknya pelanggaran yang dialami oleh buruh wanita paling tidak dikarenakan tiga hal. Pertama, wanita dianggap sebagai objek kekerasan yang
baik. Kedua, murah dan mudahnya para majikan dalam memperoleh TKW asal Indonesia, sehingga ada kecenderungan kurang menghargai terhadap TKW
tersebut. Dia mencontohkan, di Arab Saudi, para majikan untuk memperoleh TKW asal Indonesia cukup mengeluarkan uang 1.000 real, padahal harga satu ekor unta di
sana mencapai 4.000 real. Ketiga, karena profesi pembantu rumah tangga (PRT) dianggap profesi rendahan sehingga minim perlindungan hukum.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Gerakan Perempuan untuk Perlindungan Buruh Migran, saat ini buruh migran wanita Indonesia yang memiliki dokumen resmi sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi mencapai 600.000 orang. Jumlah mereka yang tidak memiliki dokumen diperkirakan jauh lebih besar dibandingkan dengan yang memiliki dokumen tersebut. Ironisnya, dari jumlah tersebut, hampir tiap tahun KBRI Jeddah menerima kiriman sekitar 5.000 paspor buruh migrant Indonesia yang melarikan diri ke dari rumah majikannya, yang tidak diketahui keberadaannya.

Pelanggaran penindasan dan dehumanisasi yang dihadapi para TKW dan buruh imigran lain, mulai dari konflik dengan masalah perburuhan seperti, gaji yang tidak dibayar, gaji dipotong, atau masalah jam kerja yang kelewat panjang, masalah penipuan, dan pemerasan, kekerasan antara lain pelecehan dan perkosaan, hingga kematian yang misterius banyak dialami oleh TKW Indonesia.

Berbagai kekerasan yang dialami TKI, khususnya TKW PRT, dikarenakan perlindungan TKW Indonesia begitu rendah di hadapan hukum yang cenderung diskriminatif. Negara seolah-olah menutup mata atas hak-hak mereka yang terabaikan oleh majikan-majikan yang memperlakukan mereka bak budak belian dan agen tenaga kerja yang cenderung eksploitatif. Masalah ini akan terus berlanjut, sehingga diperkirakan ribuan buruh migran terancam pelanggaran hak asasi manusia.

Dengan alasan masih lemahnya sistem perlindungan TKI, sangat layak apabila ada tuntutan agar pengiriman TKI dihentikan sementara, hingga benar-benar tercipta perlindungan hukum yang memadai bagi keselamatan kerja para TKI.

Menurut Tati Krisnawaty dari Gerakan Perempuan untuk Perlindungan Buruh Migran, setidaknya ada tiga hal yang patut mendapatkan perhatian dan perjuangan dari pemerintah mengenai masalah buruh migran ini. Pertama, perlunya pembongkaran dikotomi dunia publik dan dunia privat. Buruh migran wanita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dalam masyarakat dan negara yang memiliki ideologi patriarkis, menurut Tati, cenderung diletakkan sebagai persoalan dunia privat yang tidak mendapat perhatian dari kebijakan negara atau perhatian dari kebijakan negara atau perhatian publik.

Pekerjaan PRT tidak dianggap sebagai sebuah pekerjaan formal dan kurang mendapatkan perlindungan hukum. Sementara ini, konvensi-konvensi perburuhan baik dari ILO maupun General Assembly sebuah badan PBB yang mengeluarkan Perlindungan Hak Buruh Migran juga belum memasukkan persoalan buruh migran yang bekerja sebagai PRT.

Kedua, harus ada perubahan konsep pekerja pembantu rumah tangga sebagai pekerjaan masuk kategori produktif. Selama ini, dengan pemilahan antara pekerjaan publik dengan pekerjaan privat, pekerjaan PRT dianggap sebagai pekerjaan reproduksi dan dianggap tidak produktif. Anggapan inilah yang menyebabkan terjadinya perlakuan diskriminatif terhadap pekerja PRT dalam standar upah, jam kerja, dan perlindungannya.

Ketiga, meninjau ulang konsep diskriminasi yang berbasis pada status kewarganegaraan. Banyak negara yang telah menandatangi konvensi antidiskriminasi dan rasialisme --termasuk Arab Saudi-- ternyata masih berpijak pada hukum-hukum diskriminatif terhadap warga negara asing, sehingga perlu mendefinisikan ulang konsep Organisasi Buruh (Trade Union) yang selama ini juga mengabaikan keberadaan buruh migran khususnya buruh migran wanita di sektor domestic.

Lemahnya perlindungan terhadap buruh migran, memang mengundang keprihatinan sendiri, mengingat sudah banyak wanita-wanita TKW yang menjadi korban kekerasan para majikannya, baik itu eksploitasi seksual maupun konflik
perburuhan dengan majikan seperti pemotongan gaji maupun panjangnya jam kerja.

Bila dilihat secara emosional, dengan melihat kenyataan seringnya kejadian
tragis yang menimpa para TKW, maka tuntutan untuk penghentian pengiriman tenaga kerja memang beralasan. Akan tetapi, apakah itu merupakan solusi yang tepat, dengan melihat kenyataan bahwa jumlah angkatan kerja Indonesia demikian besar dan tidak mungkin semua mampu ditampung oleh lapangan kerja yang ada.

Mungkin usulan atau kampanye penghentian sementara hingga terbentuk sistem perlindungan kerja TKI yang memadai. Apalah artinya tiga hingga empat bulan pengiriman tersebut dihentikan, seperti yang dituntut Gerakan Perempuan untuk Perlindungan Buruh Migran, guna membenahi regulasi tersebut. Apabila sudah ada sistem perlindungan yang efektif tentunya justru akan menarik TKI untuk bekerja ke luar negeri, yang berarti akan banyak mendatangkan devisa. Bukan hanya sekadar eksploitasi tenaga kerja, yang arahnya seperti perdagangan tenaga kerja seperti sekarang ini. (c3) Permasalahan TKI Bersumber dari Sistem yang Berlaku Di Indonesia Jurnalis : Eko Bambang S Jurnalperempuan.com-Jakarta. Permasalahan yang muncul pada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri bersumber dari sistem yang dijalankan didalam negeri. “Jangan menyalahkan negera lain jika ada masalah TKI diluar negeri, karena permasalahan itu muncul justru dari dalam negeri. Sistem yang berlaku didalam negeri kita masih sangat amburadul mulai dari proses perekrutan sampai dengan penempatan dan pasca selesainya TKI bekerja. Inilah yang menyebabkan TKI mempunyai banyak masalah diluar negeri,” ujar Tuti anggota DPR RI dari Komisi IX.

Salah satu contoh belum baiknya sistem penempatan TKI keluar negeri ini menurut Tuti adalah adanya pemalsuan dokumen. Pemalsuan dokumen ini sering menimbulkan masalah di tempat tujuan yang akhirnya merugikan TKI. “setelah saya melakukan penelusuran ke berbagai perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) saya menemukan beberapa kelemahan. PJTKI memandang sama TKI sebagai komoditas, padahal TKI adalah manusia. Banyak PJTKI yang memanfaatkan kebodohan TKI yang berasal dari daerah-daerah untuk mengeruk kepentingan pribadi,”ujar Tuti.

Pernyataan anggota dewan tersebut disampaikan dalam forum yang difasilitasi Komnas Perempuan untuk KBRI Singapura dan KJRI Johor Malaysia guna menyampaikan informasi tentang perkembangan buruh migrant Indonesia di Singapura dan Johor Bahru – Malaysia, Rabu (17/06). Hadir dalam pertemuan itu Fachry Sulaiman, Kepala Bidang Konsuler KBRI Singapura dan Didik Tri Mardjono Konsul Urusan Konsuler KJRI Johor Bahru-Malaysia.

Apa yang disampaikan oleh Tuti diatas memang menjadi persoalan nyata yang dialami oleh TKI, khususnya di Malaysia yang menjadi pekerja rumah tangga. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Didik bahwa fakta dilapangan menunjukkan bahwa selama ini mayoritas tenaga kerja perempuan yang bermasalah umumnya tidak mengerti nama pasti majikannya atau agensi yang merekrut mereka. Nama dan usia yang tercantum dalam paspor bukan yang sebenarnya yang menunjukkan pemalsuan dokumen masih marak terjadi di Indonesia.

Kondisi ini menurut Didik, akan menyulitkan pihak KJRI ketika harus menangani kasus, karena dalam sistem di Malaysia, tanpa danya data pendukung tersebut, penyelesaian kasus baik itu menyangkut kasus perburuhan dan atau pidana, tidak akan tercapai secara tuntas. Menurut Didik, di Malaysia sekarang ada sekitar 1,9 juta TKI dan sebanyak 325 ribu mereka menjadi pekerja rumah tangga.

Pendapat yang sama tentang pemalsuan dokumen juga disampaikan oleh Fahry Sulaiman. Salah satu persoalan aspek yang menjadi kesulitan pihak KBRI di Singapura adalah tidak adanya dokumen yang pasti dari TKI. Pemalsuan ini juga sempat menyulitkan pihak KBRI ketika terjadi kasus. “KBRI pernah menangani kasus, namun kasus tersebut sulit diproses, karena tenaga kerja yang bermasalah itu tidak dapat menunjukkan doukumen aslinya. Namanya dipalsu oleh PJTKI dan setelah di telusuri nama itu untuk mencari keluarganya, ternyata nama dan alamat yang tercantum tidak sesuai karena nama yang dipakai adalah nama seseorang yang sudah meninggal dunia,” ujar Fachry.

Carut marutnya persoalan diatas menurut Didik tidak terlepas dari tidak adanya ketentuan baku di Indonesia yang mengatur secara khusus mengenai recruitment pembantu rumah tangga. Walaupun secara umum ada payung hukum yaitu UU No.39 tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan TKI di Luar Negeri, namun undang-undang ini tidak secara tegas mengatur proses penempatan tenaga kerja yang menjadi pekerja rumah tangga di luar negeri. Petunjuk pelaksanaan UU ini juga belum ada. Akibatnya pengiriman pembantu rumah tangga oleh para pengerah tenaga kerja resmi dan perorangan maupun agency dari Malaysia sulit dipantau oleh perwakilan RI. Hal ini juga juga dikarenakan banyak TKI yang tidak menggunakan job order atau kontrak kerja

coba liat yang ini deh :





0 komentar:

Posting Komentar

Link Exchange

paypal

Daftar di PayPal, lalu mulai terima pembayaran menggunakan kartu kredit secara instan.

negeri ads

lowongan kerja di rumah